Artikel ini berisi tentang :
- Si Kecil Rentan Alami Gangguan Mental
- Si Kecil Lebih Suka di Luar Rumah
- Trauma Dengan Pernikahan dan Berisiko Alami Gamophobia
- Bagaimana solusinya jika terlanjur terjadi?
Pertengkaran dalam rumah tangga merupakan hal yang biasa terjadi. Tapi jangan keseringan Dads, apalagi jika dilakukan di depan Si Kecil. Dampaknya bukan hanya pada rumah tangga, tapi bisa sangat buruk untuk pertumbuhan dan kehidupan Si Kecil.
Berikut merupakan beberapa dampak buruk yang akan diterima Si Kecil jika dia dibesarkan dalam rumah yang penuh dengan drama.
Si Kecil Rentan Alami Gangguan Mental
Penelitian yang dilakukan tim dari University of Sussex, Inggris, yang disponsori oleh Departemen Tenaga Kerja Inggris, menyebut jika anak yang dibesarkan dalam kondisi keluarga yang penuh drama, sangat rentan terkena gangguan mental parah.
Gangguan mental ini akan semakin parah jika orang tua tidak hanya bertengkar, mereka pun saling berbalas melakukan kekerasan, baik kekerasan fisik, seperti menampar, memukul atau menendang, ataupun kekerasan verbal seperti berteriak dan memaki dengan kata-kata kasar.
Dalam penelitian tersebut, tim peneliti melihat ada beberapa jenis gangguan mental yang paling menonjol dari anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berantakan, diantaranya depresi dan kehilangan rasa percaya diri.
Tidak hanya itu, para peneliti pun menemukan fakta yang cukup mengejutkan, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan, 3 kali lebih sering memikirkan untuk bunuh diri, ketimbang anak yang mendapat tekanan karena harus belajar keras demi mendapat prestasi.
Si Kecil Lebih Suka di Luar Rumah
Rumah harusnya jadi tempat aman dan nyaman untuk tumbuh. Tapi saat rumah dipenuhi dengan pertengkaran, caci-maki, saling pukul dan lainnya, bukan membawa keamanan dan kenyamanan, tapi malah membawa ketidaknyamanan.
Si Kecil yang dibesarkan di tengah keluarga yang berantakan akan cenderung mencari tempat yang nyaman untuk bersosialisasi, dan itu bisa mereka dapatkan dari dunia luar rumah. (oleh Carey Oppenheim, Chief Executive Early Intervention Foundation)
Saat usia Si Kecil masih balita, mungkin dia akan lebih memilih lama bermain di rumah nenek, atau lebih nyaman di daycare dan sekolah.
Akumulasi dari kondisi nyaman di luar rumah dan pengawasan yang longgar karena orang tua sibuk dengan egonya masing-masing, bisa sangat membahayakan. Bisa saja Si Kecil dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan tertentu.
Contoh nyata, belakangan ini banyak kasus penculikan anak untuk dijadikan sebagai pengemis. Belum lagi ancaman dari para predator seks yang mengincar anak-anak di bawah umum. Ini perlu diwaspadai lho Dads. Tanpa ada pengawasan, bisa jadi Si Kecil akan jadi korbannya.
Trauma Dengan Pernikahan dan Berisiko Alami Gamophobia
Terlalu sering melihat orang tua bertengkar, bahkan saling melakukan kekerasan, akan membuat Si Kecil bingung dengan arti pernikahan. Bahkan bukan tidak mungkin kondisi ini akan memunculkan pandangan jika pernikahan merupakan dunia yang penuh dengan kekerasan, tangisan dan caci maki.
Jika terus dibiarkan, kondisi ini bisa menanamkan persepsi negatif terkait pernikahan, dan membuat Si Kecil takut untuk menikah. (oleh Henny Eunike Wirawan, psikolog, sekaligus pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta)
Dalam kondisi yang cukup parah, trauma yang dialami Si Kecil bisa dibawa hingga dewasa dan berkembang jadi Gamophobia, atau phobia terhadap pernikahan.
Ini sudah tingkatan yang sangat parah lho Dads! Jika hanya sekedar trauma, kondisi ini bisa diatasi dengan jalur konseling. Tapi jika sudah masuk dalam kategori Gamophobia, penanganannya jadi semakin kompleks dan butuh usaha yang lebih keras untuk menyembuhkannya.
Adakah cara untuk mencegah Si Kecil trauma? Satu-satunya cara yang paling efektif agar Si Kecil tidak trauma adalah dengan tidak pernah bertengkar saat ada Si Kecil di rumah. Jika memang ada masalah antara Moms dan Dads, tahan dan simpanlah terlebih dulu sampai Si Kecil tidak ada di rumah atau ketika ia sudah tertidur lelap di malam hari. Hindari pula bertengkar dengan melibatkan kekerasan, baik fisik atau verbal.
Jika Si Kecil sudah mengalami trauma, ia harus diberi perhatian lebih supaya trauma yang ia rasakan tidak mengganggu perkembangannya. Kalau tidak segera ditangani, trauma tersebut bisa terbawa sampai ia dewasa. Agar penanganannya maksimal, Dads dan Moms bisa konsultasikan terlebih dahulu trauma yang dialami Si Kecil kepada psikiater.
Bagaimana solusinya jika terlanjur terjadi?
Jika selama ini Dads dan pasangan sering bertengkar di depan Si Kecil, dan baru sekarang menyadari jika kebiasaan tersebut berdampak buruk bagi Si Kecil, solusi terbaik yang bisa dilakukan adalah, bangun kembali hubungan keluarga yang harmonis, dengan basis kasih sayang.
Ada beberapa trik yang bisa dilakukan, diantaranya adalah :
- Jelaskan kepada Si Kecil jika apa yang dilakukan Dads dan pasangan, merupakan sebuah kesalahan, dan sekarang Dads sudah menyadarinya dan bertekad untuk berubah.
- Buktikan kepada Si Kecil jika situasi kini sudah semakin baik dengan cara, banyak meluangkan waktu bersama, dan buat situasi tersebut penuh dengan canda-tawa.
- Beri pelukan dan tunjukkan jika Dads dan pasangan sangat mencintai Si Kecil. Dads dan pasangan bisa memberikan pelukan sebelum Si Kecil berangkat sekolah, dan menjemput Si Kecil saat pulang sekolah. Lakukan semua ini bersama-sama.
- Dads dan pasangan harus berkomitmen untuk tidak pernah bertengkar dengan melibatkan kekerasan, baik fisik atau verbal.
Jika dibutuhkan, Dads dan keluarga bisa sama-sama mendatangi psikolog, dan meminta saran untuk memperbaiki kondisi keluarga agar tercipta suasana yang hangat dan penuh dengan kasih-sayang.
Ingat Dads, dalam pernikahan tidak akan pernah ada istilah “sudah tidak cocok lagi” atau “sudah tidak sejalan lagi”, karena tidak mungkin terjadi pernikahan jika tidak ada kecocokkan. Selain itu, jalan pernikahan itu cuma satu, yakni bahagia dengan cara saling mengerti, saling menghormati, dan saling menerima kekurangan masing-masing.